Jika Hujan, Anak-anak tak Sekolah
Jika Hujan, Anak-anak tak Sekolah
Menanti Perbaikan Jembatan Gantung di Batubusuk
Selasa, 16/10/2012 13:30 WIB
Bertarung nyawa. Ungkapan itulah yang patut diucapkan jika melihat para pelajar serta orang dewasa di perkampungan Batubusuk melintasi jembatan rusak tinggal kerangka besi saban hari. Jika tidak hati-hati bisa tinggal nama.
KAWASAN Batubusuk, Kecamatan Pauh, kawasan yang terkena bencana bandang beberapa bulan lalu, itu masih saja menceritakan sekelumit duka masyarakatnya. Sudahlah jauh dari sentuhan pembangunan, pemerintah kota pun seakan tak peduli dengan masyarakatnya.
Salah satunya, belum ada titik terang perbaikan jembatan yang rusak menghubungkan perkampungan Pintugaban. Para pelajar dan orang dewasa di kampung itu harus bertarung nyawa ketika melintasi jembatan tersebut.
Satu per satu mereka menyeberangi jembatan yang membelah sungai sepanjang sekitar 25 meter. Jembatan ini berada di ketinggian 50 meter dari permukaan sungai berarus deras dan di penuhi batuan besar.
Tangan-tangan mungil pelajar sekolah dasar tampak tertatih menggapai kerangka besi jembatan. Mereka berjalan di atas besi yang ukurannya 2 kali jempol orang dewasa. Ketika meniti kawat si kawat besi, goyangannya membuat jantung dag dig dug.
Tangan mereka menggenggam erat seutas kawat sebagai pegangan. Jilbab seragam sekolah yang dikenakan, mulai dibasahi keringat. Tak seorang pun dari mereka yang berani menengok ke bawah. Wajah mereka yang awalnya merona merah berubah menjadi pucat pasi.
”Alhamdulillah, sampai di subarang,” ujar salah seorang anak berpakaian putih merah yang telah sampai di seberang.
Pancaran senyum juga keluar dari mulut mungil pelajar lainnya seakan terlepas dari bahaya besar yang mengancam.
“Hore,…hore sampai-sampai,” ujar pelajar lainnya yang juga telah berhasil menyeberang.
“Gamang wak malintehi jembatan iko, Pak,” kata Lusia, 12, murid SD Bustanul Ulum Semen Padang Batubusuk yang ditemui Padang Ekspres usai melintas.
Lusia, setiap hari melintasi jembatan rusak ini ke sekolahnya di Batubusuk. Tiada pilihan lain bagi Lusia kecuali meniti jembatan gantung ini. Ya, hanya ini satu-satunya akses menuju sekolah anak-anak SD di daerah terisolir di ibu kota Sumbar ini.
“Jika harus melewati sungai, saya terpaksa melepas seluruh seragam sekolah. Jika tidak seragam bisa basah. Jika nekat melintasi sungai berarti harus melawan arus sungai yang deras yang bisa membahayakan keselamatan,” ujarnya diamini teman-temannya yang lain.
Lusia telah dua tahun melinasi jembatan rusak tersebut. “Sudah dua tahun lewat sini, tapi belum diperbaiki hingga kini,” ujarnya polos. Jika cuaca buruk, Lusia dan teman-temannya terpaksa tidak sekolah. “Jika hujan, besi jembatan licin sehingga pegangan tidak kokoh. Apalagi melintasi sungai, jika hujan, sungai cepat membesar sehingga tidak bisa dilewati,” tuturnya.
Pengalaman traumatik pernah dialami murid lainnya, Rahmi, 13. “Saya pernah terpeleset melintasi jembatan ini, Pak. Untung jatuhnya ke sungai yang tak ada batu. Ini bekas lukanya,” ujar Rahmi sembari menunjukkan bekas luka di tangannya.
Yuki, 14, pelajar SMP, sudah lama mendambakan akses kampungnya menuju daerah tetangga cepat diperbaiki. “Jika kerangka besi ini putus, kami juga terancam tidak ke sekolah,” ujarnya.
Seperti diketahui, jembatan gantung tersebut menghubungkan 25 kepala keluarga dan lebih dari 60 jiwa kampung Pintugaban ke kampung Batubusuk. “Jika kami panen, bagaimana kami akan membawanya ke luar Batubuasuk. Tidak ada jalan lain selain jembatan ini,” ujar Armadi, 38, warga lainnya.
Pria beranak empat ini berharap pemerintah mau memperhatikan masyarakat yang jauh dari pusat kota yang serba minim infrastruktur. ”Jika terus dibiarkan kami takut salah seorang dari kami akan menjadi korban,” kata Armadi.
sumber :
http://padangekspres.co.id/?news=berita&id=35984
Jika Hujan, Anak-anak tak Sekolah
Menanti Perbaikan Jembatan Gantung di Batubusuk
Selasa, 16/10/2012 13:30 WIB
Bertarung nyawa. Ungkapan itulah yang patut diucapkan jika melihat para pelajar serta orang dewasa di perkampungan Batubusuk melintasi jembatan rusak tinggal kerangka besi saban hari. Jika tidak hati-hati bisa tinggal nama.
KAWASAN Batubusuk, Kecamatan Pauh, kawasan yang terkena bencana bandang beberapa bulan lalu, itu masih saja menceritakan sekelumit duka masyarakatnya. Sudahlah jauh dari sentuhan pembangunan, pemerintah kota pun seakan tak peduli dengan masyarakatnya.
Salah satunya, belum ada titik terang perbaikan jembatan yang rusak menghubungkan perkampungan Pintugaban. Para pelajar dan orang dewasa di kampung itu harus bertarung nyawa ketika melintasi jembatan tersebut.
Satu per satu mereka menyeberangi jembatan yang membelah sungai sepanjang sekitar 25 meter. Jembatan ini berada di ketinggian 50 meter dari permukaan sungai berarus deras dan di penuhi batuan besar.
Tangan-tangan mungil pelajar sekolah dasar tampak tertatih menggapai kerangka besi jembatan. Mereka berjalan di atas besi yang ukurannya 2 kali jempol orang dewasa. Ketika meniti kawat si kawat besi, goyangannya membuat jantung dag dig dug.
Tangan mereka menggenggam erat seutas kawat sebagai pegangan. Jilbab seragam sekolah yang dikenakan, mulai dibasahi keringat. Tak seorang pun dari mereka yang berani menengok ke bawah. Wajah mereka yang awalnya merona merah berubah menjadi pucat pasi.
”Alhamdulillah, sampai di subarang,” ujar salah seorang anak berpakaian putih merah yang telah sampai di seberang.
Pancaran senyum juga keluar dari mulut mungil pelajar lainnya seakan terlepas dari bahaya besar yang mengancam.
“Hore,…hore sampai-sampai,” ujar pelajar lainnya yang juga telah berhasil menyeberang.
“Gamang wak malintehi jembatan iko, Pak,” kata Lusia, 12, murid SD Bustanul Ulum Semen Padang Batubusuk yang ditemui Padang Ekspres usai melintas.
Lusia, setiap hari melintasi jembatan rusak ini ke sekolahnya di Batubusuk. Tiada pilihan lain bagi Lusia kecuali meniti jembatan gantung ini. Ya, hanya ini satu-satunya akses menuju sekolah anak-anak SD di daerah terisolir di ibu kota Sumbar ini.
“Jika harus melewati sungai, saya terpaksa melepas seluruh seragam sekolah. Jika tidak seragam bisa basah. Jika nekat melintasi sungai berarti harus melawan arus sungai yang deras yang bisa membahayakan keselamatan,” ujarnya diamini teman-temannya yang lain.
Lusia telah dua tahun melinasi jembatan rusak tersebut. “Sudah dua tahun lewat sini, tapi belum diperbaiki hingga kini,” ujarnya polos. Jika cuaca buruk, Lusia dan teman-temannya terpaksa tidak sekolah. “Jika hujan, besi jembatan licin sehingga pegangan tidak kokoh. Apalagi melintasi sungai, jika hujan, sungai cepat membesar sehingga tidak bisa dilewati,” tuturnya.
Pengalaman traumatik pernah dialami murid lainnya, Rahmi, 13. “Saya pernah terpeleset melintasi jembatan ini, Pak. Untung jatuhnya ke sungai yang tak ada batu. Ini bekas lukanya,” ujar Rahmi sembari menunjukkan bekas luka di tangannya.
Yuki, 14, pelajar SMP, sudah lama mendambakan akses kampungnya menuju daerah tetangga cepat diperbaiki. “Jika kerangka besi ini putus, kami juga terancam tidak ke sekolah,” ujarnya.
Seperti diketahui, jembatan gantung tersebut menghubungkan 25 kepala keluarga dan lebih dari 60 jiwa kampung Pintugaban ke kampung Batubusuk. “Jika kami panen, bagaimana kami akan membawanya ke luar Batubuasuk. Tidak ada jalan lain selain jembatan ini,” ujar Armadi, 38, warga lainnya.
Pria beranak empat ini berharap pemerintah mau memperhatikan masyarakat yang jauh dari pusat kota yang serba minim infrastruktur. ”Jika terus dibiarkan kami takut salah seorang dari kami akan menjadi korban,” kata Armadi.
sumber :
http://padangekspres.co.id/?news=berita&id=35984