Akhir
pekan sepertinya terlalu berharga untuk dilewatkan bersantai-santai
saja di kamar. Apalagi saya tinggal di Bali. Tempat wisata paling
terkenal di negara ini. Siang menjelang, cerah menjarang, lalu merugilah
jika tidak keluar rumah.
Rencana utama saya kali ini adalah
menonton pertunjukan tari kecak di Uluwatu, suatu tempat di ujung
selatan Pulau Bali. Berhubung jalan sebelum Uluwatu juga terdapat
pantai-pantai yang belum pernah saya kunjungi sebelumnya, tidak ada
salahnya sekedar mencicipi hidangan pembuka sebelum menyantap main
coursenya.
Ada beberapa pantai di sekitar Uluwatu, ada Pantai
Padang-padang dan Pantai Suluban, keduanya bersebelahan. Nah sebelahnya
pantai Suluban inilah Uluwatu. Uluwatu sendiri mungkin bisa disebut
bukan pantai, karena disini tidak berbentuk pasir yang landai tetapi
tebing-tebing tinggi yang menjulang. Ada juga hutan yang dihuni banyak
kera, waspadalah karena beberapa diantaranya ada yang nakal, tapi tidak
sedikit juga yang tingkahnya lucu. Tidak ketinggalan ada sebuah Pura
juga di Uluwatu, oleh karena itu setiap pengunjung diharuskan untuk
memakai selendang dan bagi yang memakai celana pendek diharuskan memakai
kain. Kain dan seledndang sendiri sudah disiapkan di loket pembelian
tiket masuk.
Selain hal-hal tersebut di atas, ada sajian lain
lagi yang bisa dinikmati di Uluwatu, yaitu pertunjukan tari kecak. Tari
kecak sangatlah menarik dan unik daripada tarian yang lain, hal ini
dikarenakan tidak ada iringan gamelan seperti umumnya tapi yang
mengiringi adalah suara dari mulut manusia langsung. Ada puluhan
pengiring yang bersuara kecak..kecak..kecak... hampir selama
pertunjukan, mereka duduk mengelilingi tarian utama yang memiliki alur
cerita.
Tepat
jam 18.00 WITA, para pengiring tarian mulai memasuki arena pertunjukan.
Saya sendiri sudah setengah jam lebih duduk di tribun penonton menunggu
dimulainya acara. Sejam sebelumnya saya sampai di Uluwatu,
melihat-lihat suasana tempat ini sembari menunggu dibukanya loket
penjualan tiket pertunjukan tari kecak. Loket sendiri dibuka pada pukul
17.00 wita. Dengan membayar sebesar Rp 70.000,- kita bisa memperoleh
satu tiket dan sinopsis cerita tarian. Sinopsis sendiri tersedia dalam
berbagai bahasa. Setelah mendapatkan tiket tersebut saya langsung menuju
arena. Arena pertunjukan berbentuk mirip stadion hanya saja mini. Ada
tribun yang mengelilingi tempat untuk menari, sedang bagian barat tidak
berisi tribun karena selain ada gapura untuk keluar masuknya penari,
juga untuk melihat tenggelamnya matahari. Nah agar dapat menikmati
tarian dan sunset, datanglah lebih cepat sehingga dapat memilih tempat
duduk yang tepat karena jika terlambat anda hanya bisa menonton tarian
saja tanpa background sunset. Asal tahu saja penonton yang datang
berjubel.
Diiringi
para pengiring yang bersuara dan duduk berjejer melingkari benda yang
ujung-ujungnya ada api seperti obor, penari mulai memasuki arena saat
senja jingga mulai menggamit cakrawala. Tarian ini bercerita tentang
kisah yang tak asing lagi di kehidupan sebagian masyarakat kita, lakon
Rama dan Shinta. Beberapa tokoh lainnya mulai muncul bergantian,
sedangkan langit mulai benar-benar berubah menjadi jingga seperti
terbakar. What a perfect combination, great performance from all dancers
with sunset.
Di
tengah-tengah acara, ada adegan yang menarik dimana salah satu karakter
penari menyapa penonton. Dimulai dengan sapaan berbahasa Bali,
dilanjutkan dengan bahasa lainnya, Indonesia, Inggris, Jepang dan China,
entah mungkin sempat berbahasa lain juga yang tidak saya pahami. Tidak
lupa juga mengucapkan salam dalam agama Hindu, Islam dan Nasarani.
Interaksi dengan penonton tidak berhenti disitu saja, bahkan lebih seru
karena ada 2 penonton yang diajak turun ke arena untuk menari bersama.
Satu penonton perempuan dan satu penonton laki-laki. 2 orang itu
terlihat sangat menikmati tarian walaupun sebenarnya juga sempat
dikerjai. Sementara saya dan juga penonton yang lain tak henti-hentinya
membidik mereka dengan kamera di tangan masing-masing
Pertunjukan
mencapai klimaks ketika Hanoman, sang kera putih diikat di
tengah-tengah arena lalu ada sabut kelapa yang dibakar disekelilingnya
alhasil kobaran api menjalar memutari sang Hanoman. Setelah berhasil
melepaskan ikatannya, Hanoman bangkit berdiri dan menendang serta
menginjak api-api itu hingga padam. Tentu saja tepuk tangan dari
penonton segera membahana. Inilah yang disebut fire dance.
Setelah
Sinta berhasil diselamatkan, berakhir juga sendratari yang begitu
memukau ini. Mungkin sangat jarang ada dua sajian dimana alam dan budaya
dapat bersatu. Tapi disisni tepat satu jam durasi dimana anda akan
dibuat terpukau oleh sajian budaya dipadu dengan sajian alam yang sangat
mempesona.