Di
DALAM tubuh Parlindungan Lubis, tidak setetes pun mengalir darah
Yahudi. Dia Batak tulen dari Mandailing. Namun kenyataannya, dia harus
mendekam selama lima tahun di kamp konsentrasi NAZI , dan masih
beruntung bisa keluar dari tempat penyiksaan dan pembantaian yang
sadis tiada tandingannya itu. Lubis mengisahkan pengalamannya yang
luar biasa itu dalam sebuah otobiografi. Sudah agak lama beredar;
namun buku tersebut masih tetap aktual sampai sekarang.
Pasalnya, dialah
satu-satunya orang Indonesia yang mengalami langsung hari-hari
mencekam di kamp konsentrasi Nazi. Tempat pembantaian yang mengerikan
itu sengaja dibangun untuk mewujudkan impian gila Hitler, yaitu
memusnahkan etnis Yahudi, kaum gay, orang-orang cacat, gipsi dan Saksi
Jehovah.
Berikut ini Anda bisa
menyimak mosaik-mosaik pengalaman Pandapotan Lubis yang sungguh
dramatis itu, melalui resensi buku tersebut yang ditulis oleh
Koencoro : Otobiografi Parlindoengan Loebis.
LUBIS berangkat ke Negeri
Belanda untuk belajar Kedokteran, setelah lulus Kandidat I di Betawi
(begitu dia menuliskannya). Semasa di Betawi, ia sempat aktif di Jong
Islamieten Bond dan Jong Batak, yang kemudian bersama perhimpunan
mahasiswa lain (selain Jong Java) bersatu membentuk PPPI dan
Indonesia Moeda.
Di Leiden, tak lama ia
direkrut Perhimpoenan Indonesia. Sepeninggal Hatta cs, PI bersifat
kekirian, dengan garis Stalinis yang jelas. Sempat Lubis menjadi
ketua, selama 3 tahun, dan membawa PI ke arah yang tak begitu kiri.
Kerjasama dengan Partai Komunis Belanda dihentikan, lalu bekerjasama
dengan Partai Sosialis (SDAP).
Kemudian PD II pecah. Mei
1940, saat Jerman bergerak ke barat, Belanda menyerah nyaris tanpa
perlawanan. Dan bahkan kemudian kehidupan masih tampak normal dalam
pendudukan Jerman. Sebelum serangan Jerman pun, partai NSB yang pro
Jerman pernah memperoleh suara cukup besar (separuh suara) dari rakyat
Belanda.
Selama pendudukan Jerman
ini, Lubis sempat menyelesaikan kuliah di Leiden, lalu menikah di
Haarlem, menjajagi bekerja di Utrecht, dan akhirnya membuka praktek
di Amsterdam. Tapi kemudian, 26 Juni 1941, dua orang reserse Belanda
menjemputnya. Loebis dipenjarakan, dan kemudian dipindahkan ke Kamp
Konsentrasi. (Baru pada tahun 1945, Loebis mengetahui alasan
penahanannya:
Ternyata Jerman sedang
membuka front baru melawan Sovyet, dan para aktivis gerakan pro
komunis ditakutkan menjadi partisan di belakang front). Kamp
Konsentrasi yang pertama dihuni adalah Kamp Schoorl. Di sini, tawanan
belum disuruh bekerja, tetapi hanya disuruh apel dan berolah raga.
Kemudian seluruh isi kamp ini digabungkan ke Kamp Amersfoort. Di sini,
tawanan memperoleh perkerjaan konstruksi, termasuk memasang kawat
berduri. Juga mulai sering disiksa secara kejam, baik oleh orang
Jerman, maupun terutama oleh orang NSB.
Lubis kemudian dipindahkan
ke Kamp Buchenwald di Jerman. Di sini Lubis mulai kehilangan harapan
untuk dibebaskan, kecuali perang berakhir dengan kekalahan Jerman. Ia
memutuskan untuk hidup secara efisien dan tanpa hati, untuk bertahan
hidup selama mungkin. Di Buchenwald, mereka membuka hutan di
pegunungan berkabut, memecah batu, membuat barak, saluran air,
listrik, bengkel, dll, selama 7 hari seminggu, 14 jam sehari. Tawanan
sering dipukuli, bahkan hingga mati. Tawanan yang mengobrol ditembak.
Namun kemudian Lubis
dipindahkan lagi, pada Oktober 1942, ke Sachsenhausen, ke instalasi
pabrik pesawat perang Heinkel. Di sini situasi lebih baik. Kamp lebih
difokuskan pada pekerjaan teknis, biarpun kekejaman masih
berlangsung, dan menyita nyawa manusia segala bangsa di sana. Kali ini,
dia ditugaskan sebagai dokter kamp, sehingga tugasnya lebih ringan.
Lubis jarang mengulas tentang Yahudi. Ia beralasan bahwa barangkali
para Yahudi dipisahkan, dan ditempatkan di kamp tersendiri. Atau
barangkali … entahlah. Saat akhirnya pasukan sekutu berhasil masuk ke
Jerman, Kamp kacau.
Para tawanan dan penjaga
membentuk barisan tak teratur yang terus bergerak ke barat. Tawanan
yang keluar barisan langsung ditembak di belakang kepala. Tapi banyak
juga penjaga yang juga lari memisahkan diri. Mereka akhirnya
berhenti di kampung Grabouw. Sempat barisan dari kamp lain bergabung.
Dan akhirnya tentara Russia masuk juga ke kampung itu. Mereka resmi
lepas dari tawanan. Tapi perlu waktu untuk memulihkan diri, dan
mencari cara untuk lepas dari kawasan Russia, menyeberangi sungai
Elbe, masuk ke kawasan Sekutu Barat, dan akhirnya kembali ke Belanda
dengan kereta ke Maastricht, lalu naik mobil ke keluarganya di
Amsterdam.
Namun, nun di timur,
kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, dan pada akhir 1945, berita
itu mulai terdengar masyarakat Indonesia di Belanda. Lubis dkk
langsung menyatakan diri bagian dari Republik Indonesia yang merdeka,
dan kekikukan kemudian terjadi lagi. Sempat ada Kongres Pemuda
Demokrat Sedunia di Cekoslovakia, dan Loebis ingin menghadiri kongres
ini, atas nama Indonesia. Tentu Belanda tak memberikan pass, tetapi
atas bantuan Inggris, dia bisa berangkat.
Sambutan untuk Indonesia
amat meriah, membuat berang para pemuda Belanda. Lubis kembali ke
Belanda menumpang tim Belgia. Pemerintah Belanda akhirnya
memperbolehkan orang Indonesia kembali ke negerinya. Namun dengan
status sebagai NICA. Banyak yang mengira bahwa ini adalah support
yang baik, karena tidak menyadari bahwa NICA justru memusuhi
Pemerintah Indonesia Merdeka. Lubis sempat menyadari, dan memberi
peringatan kepada lainnya.
Namun saat ia bertolak
pulang, ia diberi juga pangkat Mayor NICA, yang tentu ia tolak. Ia
mengambil status sebagai dokter kapal, dan dalam status itu sempat
menyelundupkan Dr Setia Boedi (Douwes Dekker) kembali ke Indonesia.
Di Indonesia, Lubis meneruskan karir sebagai dokter, dan menolak
berpolitik. Bekerja sebagai dokter di PT Timah, Belitung. Zaman kaum
komunis Indonesia bangkit, Lubis difitnah dan dipensiunkan dini,
karena dianggap tak mau mendukung kaum komunis. Tapi ia tetap tinggal
di Belitung. Saat istrinya meninggal, baru ia pindah ke Jakarta.
Lubis meninggal di ujung tahun 1994, nyaris tanpa perhatian dari
bangsa kita.